(Sumber: tempo.co)
Ahmad Dhani dan Ariel NOAH tengah memperdebatkan sistem lisensi royalti musik. Dhani mendukung direct license, di mana musisi bebas mengatur lisensi lagunya sendiri. Sementara Ariel mendukung blanket license, sistem kolektif yang selama ini sudah berjalan di Indonesia. Pertanyaannya: kenapa terjadi perdebatan direct license dan blanket license di Indonesia?
Berangkat dari keresahan akan kinerja LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) yang buruk, AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia), diketuai Ahmad Dhani, mendorong praktik direct license. Ahmad Dhani menyebut kesepakatan antara penyanyi dan pencipta lagu bisa dilakukan secara pribadi, sesuai Pasal 81 UUHC 2014 (Kompas). Direct license pun dipilih agar pencipta lagu mendapat hak ekonomi yang layak. Realitanya, masih banyak pencipta lagu yang nasibnya gak seberuntung itu.
Lagu Diputar di Mana-mana, Penciptanya Apa Kabar?
Syam Permana – Meskipun “Terima Kasih” (dipopulerkan oleh Inul Daratista) tetap populer, Syam Permana kini harus mengamen untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Naniel C. Yakin – Naniel menciptakan lagu “Bento” (dipopulerkan oleh Iwan Fals). Ia hidup dalam kesulitan ekonomi, dan di usia senja, ia tinggal di rumah kontrakan sederhana di Bintaro hingga meninggal pada 21 Februari 2020.
Andi Mapajalos – Andi menciptakan lagu “Jumpa Pertama” (dipopulerkan oleh Chrisye). Ia menghadapi kesulitan ekonomi dan menderita stroke di usia senja. Menurut laporan, ia tidak mendapatkan royalti yang layak dari karyanya.
Di sisi lain, VISI (Vibrasi Suara Indonesia) menjelaskan kehadiran mereka bukan membela kepentingan salah satu pihak saja. Lewat unggahan di @vibrasisuaraindonesia, mereka sering menekankan pentingnya saling dukung di industri musik. Yang ditentang VISI bukan kesejahteraan pihak-pihak tertentu, namun aturan yang perlu diperbaiki. Terbukti dari pengajuan uji materiil ke MK tempo lalu (sempat dibahas di Siar Kabar sebelumnya), yang dilakukan untuk mencegah praktik hukum yang kurang tepat.
Jadi, harusnya membela yang mana?
Harusnya, yang dibicarakan bukan lagi tentang siapa yang lebih baik dari siapa — toh, keduanya memperjuangkan ekosistem musik yang adil juga. Pertanyaan yang seharusnya: apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung itu?
Mulai dari membangun kesadaran akan hal-hal yang esensial terkait isu ini, salah satunya LMK. Kenapa memahami LMK penting? Karena LMK merupakan lembaga yang bertugas mengoleksi dan mendistribusikan royalti sesuai ketentuan hukum dan diakui oleh negara.
LMK sendiri di Indonesia ada bermacam-macam. Total ada lima belas LMK yang beroperasi di Indonesia, beberapa diantaranya adalah KCI (Karya Cipta Indonesia), WAMI (Wahana Musik Indonesia), dan SELMI (Sentra Lisensi Musik Indonesia).
Apa yang membedakan LMK satu dengan lainnya?
- Hak yang dikelola – Ada yang fokus ke pencipta lagu (WAMI, KCI), ada yang ke artis & produser (PRISINDO – Performers Right Society of Indonesia; PAPPRI – Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia).
- Cara kerja – Metode pengumpulan & distribusi royalti bisa beda; ada yang pakai data digital, ada yang manual.
- Jangkauan – Ada yang aktif menarik royalti dari luar negeri, ada yang fokus di dalam negeri.
- Anggota – Beberapa lebih banyak menaungi musisi independen, yang lain dekat dengan label besar.
Karena ada banyak LMK di Indonesia, makanya ada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai badan pusat yang mengumpulkan, mengelola, dan menyalurkan royalti dari berbagai sumber, seperti radio, TV, tempat hiburan, dan platform digital dalam satu pintu.

Kalau sistemnya sudah ada, terus masalahnya apa?
Pada 10 Januari 2023, LMKN melaporkan telah mengumpulkan hampir 25 miliar royalti dalam tiga bulan. Namun, sejak itu, website dan laporan keuangannya belum diperbarui.
Piyu Padi juga sempat mengkritik LMKN karena hanya menyetorkan royalti performing sekitar Rp125.000 dalam enam bulan (Kompas.com). Lebih lanjut, masih banyak royalti tak terklaim karena lebih banyak pencipta tak terdaftar dalam LMK (baca di Siar Kabar sebelumnya tentang sejarah UUHC).
Kalau gitu, gimana caranya kita mendukung sistem distribusi royalti yang lebih transparan oleh LMK? Menurut Satjipto Rahardjo, guru besar di bidang hukum, penegakkan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan.
Penegakan hukum yang efektif membutuhkan:
- Regulasi yang jelas — aturan hukum yang tegas, tidak ambigu, dan mudah dipahami semua pihak.
- Badan pengawas — yang memiliki integritas, transparan, dan tanpa kepentingan tertentu.
- Partisipasi publik — masyarakat yang sadar hukum dan berani melapor.
- Sanksi tegas — hukuman yang memberi efek jera.
- Reformasi berkelanjutan — evaluasi hukum yang terus menerus agar hukum tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Perdebatan ini gak bakal ada jika kinerja LMK optimal, tapi kita semua tetap bisa ikut ngebangun ekosistem musik yang lebih baik. Yuk, mulai dari bangun kesadaran dan inovasi agar sistem royalti berjalan baik. Bayangin kalau koleksi dan distribusinya semudah membuka aplikasi atau mampir ke booth di konser-konser — seru, kan?