Akhir-akhir ini, ramai berita tentang VISI. Sejumlah penyanyi tiba-tiba mengunggah logo VISI, mengadakan buka puasa bersama, hingga muncul kabar 29 diantaranya berencana mengajukan uji materi UU Hak Cipta (UUHC) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kamu mungkin bertanya-tanya: Apa sih VISI? Emang ada masalah apa sama UUHC di Indonesia? Terus, kenapa uji materi mesti dilakukan?
Sebelumnya, apa sih VISI?
(Sumber: Vibrasi Suara Indonesia – @vibrasisuaraindonesia)
Vibrasi Suara Indonesia (VISI) adalah wadah bagi penyanyi Indonesia untuk bersatu dan memperjuangkan hak mereka. VISI lahir dengan semangat menciptakan ekosistem musik yang adil dan setara untuk semua yang terlibat di dalamnya.
Tapi kenapa mereka sampai harus menguji materi? Apa hubungannya dengan isu hak cipta di Indonesia?
UU Hak Cipta di Indonesia awalnya diatur dalam Auteurswet Tahun 1912, yaitu hukum Hak Cipta Belanda yang dulu berlaku waktu Indonesia masih disebut Hindia Belanda. Hukum ini kemudian dikembangkan menjadi UU Hak Cipta No. 6 Tahun 1982, yang mengatur hak eksklusif pencipta, perlindungan karya, dan sanksi bagi pelanggar sebagai respon maraknya pembajakan di Indonesia saat itu.
Dapat Tekanan Internasional, Tahun 1987 UUHC Direvisi Lagi
Meski sudah diatur UU, pembajakan masih marak terjadi di Indonesia. Bob Geldof, salah satu penggagas Live Aid yang saat itu menggalang dana untuk orang-orang kelaparan di Ethiopia, sampai naik pitam karena rekaman konsernya dibajak di Indonesia. Puncaknya, Bob Geldof menggugat pemerintah Indonesia yang mendorong revisi UUHC pada 1987 (detik.com).
(Sumber: knowyourmeme.com)
Pasal Penting Dalam UUHC 1987
- Pasal 44: Sanksi penjara maksimal 7 tahun atau denda Rp100 juta bagi pelaku pembajakan.
- Pasal 45: Jika pelaku bergerak sebagai perusahaan, maka bisa dikenakan denda plus sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.
Apakah ini menyelesaikan masalah? Sayangnya, tidak. Pembajakan justru semakin marak, didorong kemudahan teknologi digital yang disalahgunakan, seperti penggandaan CD yang merajalela di era itu.
UUHC direvisi lagi pada 2002 untuk melawan pembajakan CD, isinya:

Namun, pembajakan CD masih merajalela, pencipta lagu pun masih sering tak dapat royalti. Kok bisa? Ini kata kuncinya! Meski UUHC sudah dirancang sedemikian rupa untuk mengatasi masalah, praktiknya tak berjalan efektif karena kurangnya kesadaran dari pelaku.
Mulai kebayang masalahnya dimana? Lanjut ke revisi UUHC 2014! UUHC no. 28 Tahun 2014 membawa perubahan penting sebagai berikut:

LMK dibuat untuk memudahkan, mengingat satu lagu bisa dibawakan ribuan kali sehari. Bayangkan jika setiap penyanyi harus izin langsung ke pencipta—tentu merepotkan. LMK seharusnya jadi jembatan antara pencipta, penyanyi, penyelenggara, dan pelaku lainnya untuk memastikan royalti terkumpul dan terdistribusi dengan lancar. Tapi kenyataannya, banyak pencipta justru tak mendapat hak mereka. Kok bisa?
Untuk menjamin hak ekonomi pencipta, tarif royalti performing diatur dalam Keputusan Menkumham 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti, bahwa:
- Konser berbayar wajib membayar tarif 2% dari hasil kotor tiket + 1% dari tiket gratis.
- Restoran, kafe, tempat hiburan wajib membayar tarif berdasarkan kategori & kapasitas tempat.
Sistemnya makin jelas, tapi praktiknya masih kacau. Pada satu kesempatan, Ahmad Dhani mengungkapkan kekecewaannya kepada LMKN. “…kenapa hanya Rp 900 juta per tahun dari seluruh konser di Indonesia? Dari sektor lain bisa Rp 140 miliar. Itu di bawah 1 persen, royalti pertunjukan musik itu hanya berhasil dikumpulkan 1 persen,” ujarnya (kompas.com).
Terkait hal ini, Panji Prasetyo, Direktur Hukum FESMI berkata, “Diatur dalam PP 56/21, jika LMK dapat mengoleksi royalti yang bukan anggota. Jika dalam kurun waktu tertentu pencipta tidak mengklaim royalti, dianggap hangus dan dibagikan ke anggota LMK.”
Menyoroti royalti tak terklaim, Panji Prasetyo menyatakan, “LMK harusnya mengurangi jumlah itu. Kalau bisa, semua pencipta terdaftar.” Faktanya, setelah sepuluh tahun, masih banyak yang belum terdaftar. Pada 2021, anggota LMK hanya 6.500–7.000, termasuk pencipta, produser, dan artis pertunjukan (Sindonews).
Karena merasa ada ketidakpastian hukum, VISI mengajukan uji materi:

Kepastian Hukum Seperti Apa Yang Dibutuhkan Dari Pasal-Pasal Tersebut?
- Atas Pasal 9 ayat (3): Agar memberi penegasan ulang bahwa izin telah diberikan undang-undang dengan kewajiban melaksanakan pembayaran royalti.
- Atas Pasal 23 ayat (5): Untuk kejelasan mengenai siapa saja yang harus membayar royalti dan apakah royalti dibayar sebelum atau sesudah pertunjukan.
- Atas Pasal 81: Agar jelas, UU Hak Cipta hanya mengakomodir sistem kolektif (LMK/LMKN) sesuai Kepmenkumham HKI No. 2 Tahun 2016 untuk menghitung dan mendistribusikan royalti pertunjukan secara rasional.
- Atas Pasal 87 ayat (1): Agar jelas, pemungutan royalti hanya lewat sistem kolektif (LMK/LMKN) sesuai ketentuan yang berlaku. Mekanisme lain yang non-kolektif atau diskriminatif tidak bisa ditempuh.
- Atas Pasal 113 ayat (2): Agar jelas, Pelaku Pertunjukan yang belum bayar royalti itu soal kewajiban perdata bukan pidana.
Apa Yang Akan Terjadi Jika Uji Materi Disetujui dan Tidak Disetujui?
Jika uji materi disetujui, kejelasan hukum diharapkan akan menciptakan ekosistem musik yang lebih teratur dan adil, mempermudah pengelolaan royalti, serta memperbaiki hubungan antar pelaku industri. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan sistem pengoleksian royalti yang adil, mengingat kinerja LMK yang masih jauh dari optimal.
Jika uji materi ditolak, ketidakpastian hukum berpotensi menghadirkan gejolak ke dalam ekosistem industri musik. Tanpa dasar hukum yang jelas, kerja sama antar pelaku industri semakin sulit dan berisiko menimbulkan ketidakadilan—misalnya, penyanyi dipidana karena membawakan lagu orang, atau pencipta lagu menetapkan tarif berbeda untuk tiap penyanyi.
Kita semua tentu berharap dan berusaha untuk mewujudkan ekosistem musik yang lebih adil di Tanah Air. Namun, kesadaran dan moralitas sangat penting dalam menjalankan kewajiban untuk mewujudkan hak ekonomi bagi semua pihak. Belajar dari sejarah, meski UUHC sudah dirancang untuk mengatasi masalah, praktik yang efektif akan sulit tercapai jika pelaku, baik pencipta, penyanyi, pemilik venue, dan pengoleksi royalti kurang memiliki kesadaran dan moralitas untuk melakukan tanggung jawabnya.